pacman, rainbows, and roller s
test
www.apiel.xtgem.com

 

Kisah Tanggal 1


Ini kisahku.
Namaku wilona glerentya, panggil saja lona. Sekarang aku kelas 2 sma. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku namanya rino glerentyo. Kelas 1 sma. Dulu hidup kami sangat manjur, perusahaan ayah sangatlah bangkit bangkitnya. Tapi itu dulu. Karena.
Saat matahari enggan muncul. Di saat itulah hidupku menjadi gelap.
Sekarang semua yang kusayangi hilang.
Karena kegelapan.
Mungkin orang buta lebih beruntung dari padaku
Dia tidak dapat melihat terang
Tapi aku. Buat apa terang
Jika kegelapan yang aku dapat
Untuk meraba mereka yang telah jauh pun aku tak bisa.

“kak yon, rino pergi dulu ya” kata adikku rino.
“ya” balasku
Rino pergi naik motornya. Dia sudah jauh tapi suara motornya masih terdengar. Hari ini tanggal 1 september 1995. Saat inilah matahariku enggan muncul dihadapanku lagi.
“kring. Kring.”
“hallo” bunda yang mengangkatnya.
“apa ini benar. Keluarga dari tuan rino glerentyo.”
“ya. Ini siapa ya?”
“oh maaf bu. Ini dari rumah sakit latersia. Anak ibu tadi pagi mengalami kecelakaan jadi dilarikan ke rumah sakit ini.” kata seseorang dari seberang sana. Yang menurutku seorang dengan pakaian putih-putih. Perawat disana.
“rino.Kamu sudah baikan nak.” bisik bunda pada telinga rino di sela-sela tangisnya.
“gak apa apa bun.” jawab rino menghindari khawatirnya bunda.
“kenapa jadi begini.” kataku.
“udahlah yon. Biarkan adikmu istirahat dulu.” bujuk oma padaku.

Saat di luar ruangan bunda tiba-tiba saja pingsan saat setelah menerima satu telepon dari seseorang.
“bunda.” pekikku.
Bunda di bawa ke dalam untuk istirahat. Setelah siuman kami pun pulang ke rumah. Mungkin bunda pingsan karena melihat rino begitu.
“ya bapa. Semoga ini cepat berakhir.” bisikku dalam doa di hati.

Karena luka rino tidak terlalu serius jadi rino sudah dapat pulang langsung ke rumah. Di rumah ayah sudah menunggu kami. Tapi wajahnya.
“sudah, kalian masuk duluan” kata bunda.
Kami pun masuk ke kamar. Tapi entah kenapa rasanya seperti.
Saat makan malam ayah bilang pada kami.
“maaf. Ayah tidak dapat jadi ayah yang baik untuk kalian.”
“ayah ini kenapa?” tanya rino heran.
Saat itu aku tidak dapat berkata apa apa karena rasanya tadi seakan akan mendapat jawaban.
“ayah kehilangan 7 perusahaan ayah.” suara ayah sedikit parau.
“tak apa. Asalkan kita masih bisa bersama” hibur oma.
Kata “masih bisa bersama” itu bukanlah hal yang abadi. Karena matahari sudah menutup diri. Seakan semakin rapat. Hingga celahnya pun tidak ada yang kelihatan.

Di sekolah, saat paginya, aku di panggil oleh guru bp.
“lona. Bereskan buku kamu,. Sekarang kamu ikut bapak ke kantor.” kata guru bp.
“memangnya ada apa pak.” tanyaku heran.
“pasti belum bayar uang sekolah kan. Ayahnya lona kan dah bangkrut.” ejek juna teman sekelasku.
“ayah lona hanya kehilangan 7 perusahaannya saja. Dia masih punya perusahaan lainnya” bela della teman baikku.
Aku hanya terdiam. Ku ikuti guru bp ke luar kelasku. Di luar beliau bilang kalau ayah masuk rumah sakit sekarang.
“maaf kalau bapak harus bilang ini padamu’’ ucap beliau sedih.

Aku langsung saja pergi ke rumah sakit.
“lona, tenang sayang.” bisik oma menenangkanku.
Aku tau oma itu hanya menghiburu saja. Tanpa aku tau bagaimana perasaan oma sekarang.
Kondisi ayah semakin buruk. 01 oktober 1995. Kulingkari tanggal itu. Sekarang matanya tidak dapat dbuka. Seakan ada kunci. Ayah dikelilingi selang-seang aneh bagiku. Nafasnya ditolong oleh alat bantu pernafasan. Makan dan minum hanya bisa masuk lewat selang sonde. Juga di pasang alat bantu pacu jantung. Ada juga pembuluh o2 dari tabung. Infus dan obat-obatan cairnya. Pilu rasanya meihat ayah seperti itu. Ayah terikat oleh rupa-rupa alat itu. Tiap hari aku selalu berusaha untuk selalu ada di sampingnya.

Di sekolah, juna yang selalu mengganggu ku kini tidak pernah lagi menggangguku lagi. Entah kenapa dia jadi pendiam begitu.
Dokter yang menangani ayah namanya dokter rama. Dia masih muda, umurnya 26 tahun. Dia sangat baik.
Tepatnya pukul 16.00 kondisi ayah semakin memburuk. Yang ada saat itu hanya aku dan dokter rama.
Air mataku tidak dapat lagi aku bendung. Mengalir.
“apa nama selang selang itu.” tanyaku pada dokter rama. Dia hendak menjawabnya. Tapi saat dia melihat mataku berair dia seakan tertahan.
“apa fungsinya.”
“mengapa dipakaikan pada ayahku.”
“berapa lama selang itu dapat membantunya??”
“mengapa harus ayah.”
Dokter rama hanya diam. Tangisku semakin pilu. Kali ini kau tidak menunggu apa jawaban dari nya. Karena yang pasti itu akan membuat matahariku semakin jauh dariku.

Ku tapaki lorong demi lorong rumah sakit itu.
Kini langkahku mengantarkanku ke gereja di dekat itu. Karena hany adalah yang tau apa jawaban yang pasti untuk pertanyaanku saat ini.
“bapa. Apa memang ini jalan yang harus aku lalui? Kenapa ayah harus menderita disana?. Bunda maria. Kuatkan aku. Hentikan aliran air mata ini. Hadirkan kembali senyum orang-orang yang aku sayangi.”

01 november 1995. Ku lingkari kembali tanggal itu. Ini hari yang paling aku takutkan.
Sudah 1 bulan ini ayah tak sadarkan diri. Dan tidak ada tanda-tanda dia akan membuka matanya lagi. Tidak ada tanda tanda dia akan tersenyum lagi. Tidak ada tanda tanda dia akan membuat aku tertawa lagi. Dia kini telah pergi.
“ayah.” tangis rino. Bunda sampai tak sadarkan diri. Sedangkan oma. Dia. Wajahnya yang kini sudah tua seakan berkata” kenapa kau yang pergi duluan meninggalkanku. Kamu mendahului ibu nak.”
Aku hanya bisa terisak di samping peti ayah.
“tuhan benar. Dia mengembalikan senyum ayah lagi. Disana ayah sudah bisa tersenyum lagi. Beban yang dia bawa di dunia ini sudah lepas sekarang. “selamat jalan ayahku tersayang”
Ku taburi bunga bunga diatas peti ayah sambil mengiringi turunnya peti ayah ke bawah.
“terima kasih sudah menjadi ayah yang baik untukku” lirihku dengan doa.
“selamat jalan ayah. Kami sayang ayah.Selalu.” bisik rino
“satu hal yang ibu belum sempat katakan nak. Ibu bangga punya anak sepertimu. Ibu senang kamu bisa membahagiakan orang tua mu sampai detik akhir hidupmu.” bisik oma di sela tangisnya.
“selamat jalan sayang. Aku senang kamu pernah singgah di hidupku. Terima kasih sudah buat kenangan indah sampai akhir ini.” tangis bunda.

Kini ayah sudah tiada.
Sejak saat ayah pergi oma selalu sakit sakitan.
Bunda juga sering keluar masuk rumah sakit. Kali ini bunda akan melakukan cuci darah. Tapi persediaan darah untuk golongan b rhesus positif itu habis.
Aku dan rino golongan a. Sedangkan oma beliau sedang sakit sakit juga.
Di saat kami binggung untuk mencari di mana ada pendonor dengan golongan b. Tiba tiba perawat di rumah sakit latersia itu mengatakan kalau darah nya sudah ada. Jadi tindakan dapat dilakukan sekarang.
“terima kasih tuhan. Siapa pun yang mendonorkannya. Terima kasih banyak.” doaku padanya.
Selesai itu, bunda dapat pulang juga. Tapi 3 minggu lagi kami harus melakukan cuci darah lagi. Begitu anjuran dokter.
Waktu memang cepat berlalu. Saat ingin cuci darah lagi. Persediaan sudah kosong sejak 2 minggu yang lalu kata dokternya. Tapi bunda juga gak bisa d tunda tunda perawatannya. Aku bingung dengan keadaan ini.
“kemana pendonor kemaren? Kenapa dia tidak muncul lagi? Apa yang akan terjadi lagi?”
Bunda harus di rawat di rumah sakit. Beliau terbaring tanpa daya di atas tempat tidurnya. Mengingatkanku akan keadaan ayah.

01 desember 1995. Aku kehilangan 1 orang lagi. Bunda pergi menyusul ayah. Seakan tidak mau di tinggal ayah.
“bunda. Rino ikut.” tangis rino.
“rino masih punya oma dan kak lona” hibur oma.
Aku gak tau apa yang harus aku katakan saat itu. Yang aku tau hidup mulai tidak adil padaku. Semua yang aku sayangi mulai direbut olehnya.
Ku iringi kepergian ibu dengan bunga yang ku tabur di atasnya. Ku pandang bunga yang ada di atas tempat perbaringan ayah. Masih belum layu juga. Ternyata ayah menunggu bunda. Itu berarti ayah juga sendirian disana.
Ayah. Aku rindu ayah. Bunda kini sudah pergi yah. Bunda ikut ayah. Yang aku punya sekarang hanya rino dan oma. Aku gak tau kapan matahariku akan bersinar lagi. Yang ku tau saat ini hanya air mata saja yang mengiringi hidupku kini.

Kurelakan kepergian ayah dan bunda. Sudah 2 bulan ini aku tidak masuk sekolah. Tidak ada lagi yang bisa membuat aku semangat dengan hidup ini.
2 hari setelah bunda pergi. Dokter rama pulang dari seminarnya di prancis. Dia menemui aku di rumah. Ternyata dokter ramalah yang mendonorkan darahnya untuk bunda kemaren.
“bunda sudah pergi.” tangis ku di depannya.
“maaf. Aku terlambat datang nya. Maaf. Kata dokter rama penuh penyesalan,
“dokter tidak salah. Nasib ku yang memang sial.”
“tidak ada yang sial di dunia ini. Semua itu memang sudah di rencanakan olehnya. Itu karena kamu mampu melewatinya lona.” ucap nya
“apa aku bisa kuat dengan keadaan ini? Apa aku bisa kuat di saat orang sekelilingku tidak bisa berdiri tegak lagi?”
“kamu bisa. Dan aku tau itu” ucap nya.
Aku sedikit tenang dengan kehadiran dokter rama.

Bersambung

Cerpen Karangan: Viekha Zuey
Facebook: fikachoe_18[-at-]yahoo.com


Halaman awal | Beranda | area Informasi

HOME

© Copyright 2010 www.apiel.xtgem.com Segala isi dan elemen dari website ini dilindungi oleh pemilik