Hari yang menyebalkan bagi Rafa. Ia harus membatalkan double datenya demi menjemput seseorang yang merepotkan. Safa, gadis keriting berkulit putih yang merupakan saudara kembarnya. Baru beberapa bulan yang lalu mereka bertemu di Jogja saat liburan semester. Seharusnya seperti tahun-tahun sebelumnya, Safa akan datang ke Jakarta empat bulan lagi saat libur kenaikan kelas. Tapi entah kenapa gadis yang sering membuat Rafa kelihatan sebagai pengasuhnya daripada saudaranya itu memajukan hari berkunjungnya ke Jakarta.
Seorang gadis yang sedang menarik koper berwarna hitam itu
menghampiri Rafa. Gadis itu segera memeluk orang yang berdiri di
hadapannya.
“Rafa aku kangen banget sama kamu,” kata gadis itu sambil melepas pelukannya.
“Baru dua bulan nggak ketemu,” jawab Rafa singkat.
“Tapi kan aku kangen,” kata Safa yang mengaitkan tangannya ke lengan Rafa.
Rafa hanya diam. Ia segera menarik koper Safa lalu berjalan. Safa masih
setia menggandeng lengan Rafa. Orang di sekitar mereka pasti mengira
kalau mereka sepasang kekasih. Untungnya pacar-pacar Rafa yang jumlahnya
lebih dari lima tidak ada di bandara.
“Fa aku capek,” kata Safa. Wajahnya tampak pucat.
Rafa yang tidak memperhatikan orang di sebelahnya terus saja berjalan.
Pegangan Safa terlepas. Lalu ia jatuh pingsan. Rafa kaget. Ia segera
meraih tubuh Safa yang tergeletak di lantai.
“Safa… Safa… jangan main-main dong! Bangun! Bangun Sa,” kata Rafa panik.
Ia menggoncang-goncangkan bahu Safa. Rafa kebingungan. Ia menengok kiri
dan kanan. Beberapa orang terlihat berkerumun di sekitarnya.
“Fa,” Safa memanggil saudaranya. Ia sudah sadar. Rafa segera memeluknya.
“Sa jangan bikin gue khawatir! Lo sakit ya waktu berangkat?” tanya Rafa.
Safa menggeleng lemah.
“Rafa selamat ulang tahun,” teriak Safa tepat di telinga Rafa yang baru saja terlelap.
Rafa bangkit dari ranjangnya. Ia mengucek-ucek matanya. Tanpa dikomando
Safa, Rafa langsung meniup lilin berbentuk angka tujuh belas di atas kue
tart yang dipegang Safa. Safa langsung cemberut. Tidak ada senyum lagi
di wajahnya. Bola lampu pijar menyala di atas kepala Safa. Ia langsung
mengambil lilin yang ada di kue tartnya. Lalu meletakkannya di meja.
Kali ini Safa tersenyum kembali. Ia menghitung mundur.
“Tiga, dua, satu.”
Plek.
Dengan lancar kue tart itu mendarat di wajah Rafa yang sudah berbaring
lagi di ranjangnya setelah meniup lilin tadi. Rafa mengusap wajahnya. Ia
bangkit dari tempat tidurnya lalu berlari mengejar Safa yang sudah
keluar dari kamarnya.
—
“Gue ngantuk tahu,” kata Rafa begitu sampai di meja makan.
“Nih,” Safa menyerahkan kotak berisi ipad terbaru pada Rafa yang duduk di depannya.
“Wah ini yang terbaru kan?” Rafa terpukau pada benda di hadapannya.
“Iya. Hadiah buat aku mana?” tanya Safa.
“Gue lupa Sa,” kata Rafa tanpa ekspresi bersalah..
“Nggak bisa. Pokoknya kamu harus ganti hadiah itu dengan dua belas jam,” kata Safa.
“Kok dua belas jam? Biasanya kan cuma dua jam nemenin lo ke mall doang,”
kata Rafa. Seperti biasanya Safa meminta waktu sebagai imbalan
hadiahnya. Tapi ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Dua belas jam?
Tidak bisakah dipersingkat?
“Aku maunya dua belas jam titik nggak pake koma, tanda tanya atau tanda seru.”
—
Tanpa terasa peluh membasahi lembar jawaban yang berada di meja Rafa.
Semalam ia tidak menyentuh bukunya sama sekali gara-gara Safa ada di
rumah. Celakanya ia harus menyelesaikan soal-soal sejarah yang sulitnya
minta ampun. Kalau saja ia bisa menjawab dengan kalimat, saya belum
lahir saat itu. Pasti lembar jawabannya sudah penuh sekarang.
Tengok kiri, tengok kanan, tetap saja tidak mendapat hasil. Sialnya Rafa
pagi ini! Bangun telat, motor mogok, dimarahi pacar karena kesiangan
jemput. Begitu sampai di sekolah dihukum satu jam untuk hormat bendera.
Eh, ketika masuk kelas ulangan harian sejarah menanti. Lengkap sudah
penderitaannya. Belum, belum lengkap, ia belum menghabiskan dua belas
jam bersama Safa. Celaka!
“Rafa kamu dipanggil kepala sekolah,” kata Bu Indah. Guru sejarah kelas
Rafa. Beliau sangat cantik, tapi sayang galaknya minta ampun. Tidak ada
protes yang keluar dari mulut Rafa. Toh dipanggil kepsek atau tidak, ia
tetap tidak bisa menyelesaikan ulangan hariannya.
Dengan malas Rafa bangkit dari kursinya. Ia berjalan pelan menuju ruang
kepala sekolah yang sebenarnya hanya berjarak lima belas meter dari
kelasnya. Langkahnya gontai ketika memasuki ruang kepala sekolah. Ia
tidak terkejut melihat gadis yang ingin menemuinya. Tapi ia cukup heran
melihat gadis itu menangis. Begitu Rafa masuk, gadis itu langsung
memeluknya dan berkata, “Mama masuk rumah sakit kak.”
—
“Kok lo tadi bisa nangis sih?” tanya Rafa ketika sampai di taman bermain. Ya, taman bermain, tempat pertama yang dipilih Safa.
“Ini,” Safa menunjukkan obat mata yang berada di tasnya.
“Kalau gue pengen bolos, lo bantuin gue lagi ya!”
“Enak aja.”
“Lo kan nggak bohong. Mama tiap hari emang masuk rumah sakit kan?”
“Iya soalnya mama kita dokter.”
Safa mengedarkan pandangannya ke segala arah. Setelah menemukan yang
dicari, buru-buru Safa menarik tangan Rafa menuju komedi putar. Awalnya
Rafa menolak, tapi ia terpaksa mengikuti langkah saudara kembarnya.
“Ayo…!” rengek Safa.
“Malu Sa, yang naik anak kecil semua. Gimana kalau temen-temen gue tahu?
Gue cowok paling keren di sekolah, masa naik komedi putar?”
“Ya udah ipadnya aku bawa lagi ke Jogja,” ancam Safa.
“Jangan dong! Itukan ipad terbaru. Jangan ya!” kata Rafa yang maniak gadget.
“Salah sendiri nggak pernah inget ulang tahun aku. Nggak pernah kasih kado lagi.”
“Itu kan ulang tahun gue juga. Kok lo marah-marah sih?”
“Kenapa sih kamu nggak pernah ngerti? Di ulang tahun kita nggak ada gue
atau elo, yang ada kita! Dan lo nggak pernah inget!” bentak Safa.
“Tumben Safa marah, 16 kali ultah nggak pernah marah-marah sampai kayak gitu,” batin Rafa.
Kali ini Rafa menurut. Ia naik komedi putar dengan pasrah. Hari ini mereka ulang tahun, seperti biasa Safa selalu memberikan kado untuk Rafa. Sedangkan Rafa, jangankan memberikan kado untuk saudara kembarnya, ia saja lupa hari itu hari ulang tahunnya. Sebagai gantinya ia harus menemani saudara kembarnya selama 12 jam hari ini. “Membosankan, menyebalkan dan memuakkan,” pikir Rafa. Menghabiskan waktu bersama saudara kembarnya yang sudah beranjak remaja. Lebih baik kencan dengan salah satu pacarnya saja.
Padahal dulu waktu mereka masih kecil, yang paling semangat bermain adalah Rafa. Tapi sekarang, Rafa sudah remaja, sudah tujuh belas tahun. Ia berbeda sekarang. Tinggi, tampan dan disukai banyak gadis. Sifatnya juga lebih dewasa. Tapi Safa tidak berubah kecuali fisiknya. Sifatnya masih kekanak-kanakan. Suka es krim, permen dan boneka. Masih sering menangis dan senang membuat keributan.
Safa begitu menikmati kebersamaannya dengan Rafa. Meskipun ia hanya
punya waktu 12 jam, tapi keceriaan tidak bisa disembunyikan dari raut
wajahnya. Setelah lelah bermain di berbagai wahana, Safa mengajak Rafa
ke sebuah cafe.
“Pesen apa?” tanya Rafa.
“Terserah deh.”
“Rafa?” sapa seorang gadis yang menghampiri meja mereka..
“Olla, ngapain lo disini?” tanya Rafa.
“Mestinya gue yang nanya ke elo. Lo ngapain berduaan sama cewek lain?” tanya Olla.
“Kayaknya kamu salah paham deh,” sela Safa.
Dengan cepat telapak tangan Olla meluncur ke pipi Safa. “Dasar cewek nggak tahu malu! Ikutan ngomong lagi.”
“Lo apa-apaan sih?” bentak Rafa. Meskipun nggak sayang-sayang amat sama saudaranya. Tapi tetep aja kan saudara harus dibela.
“Dia udah ngerebut lo dari gue. Dan gue harus diem aja gitu?”
Muka Rafa merah padam. Ia melihat tangan kanan Safa ditempelkan ke pipinya yang bengkak. Lalu Rafa pun menjawab, “Iya.”
“Apa?”
“Pergi dari sini! Mulai sekarang kita putus,” kata Rafa.
“Tapi…” Olla menutup mulutnya. Air matanya mulai keluar. Adegan termehek-mehek dimulai. Rafa nggak tahan lihat cewek nangis.
“Udah deh kita aja yang pergi,” Rafa menggandeng tangan kiri Safa dan mengajaknya keluar dari cafe itu.
—
“Udah nggak usah nangis,” Rafa menghapus air mata Safa dengan sapu tangannya.
“Tapi aku malu. Aku ditampar di depan umum.”
“Lo kan tinggal di Jogja, nggak ada tetangga atau temen lo yang tahu
kok. Olla emang emosian orangnya. Yang pernah jadi korbannya itu Lili,
Icha, Debi juga pernah,” jelas Rafa sambil menghitung dengan jari.
“Karena salah paham juga?”
“Enggak. Gue emang lagi sama cewek gue yang lain sih waktu itu.”
“Parah!”
“Dari pada elo nggak laku-laku. Sampai umur tujuh belas tahun nggak pernah pacaran.”
“Enak aja. Tanya mama tu! Banyak tahu cowok yang nembak aku. Tapi aku tolak.”
“Kenapa?”
“Aku nggak mau kaya mama.”
“Jadi lo pikir gue kaya papa?”
“Emang iya.”
“Silahkan makanannya,” kata pelayan yang mengantarkan makanan ke meja mereka.
“Makasih,” kata Safa.
Mereka berdua pun berhenti bicara lalu menikmati makanan yang berada di
hadapan mereka. Dua belas tahun yang lalu mereka berpisah karena orang
tua mereka bercerai. Rafa ikut papanya yang tetap tinggal di Jakarta,
sedangkan Safa ikut mamanya pindah ke Jogja. Perceraian itu membuat Rafa
dan Safa merasa trauma sampai sekarang. Rafa melampiaskan traumanya
dengan bergonta-ganti pacar. Sedangkan Safa yang sekarang berumur 17
tahun belum berani pacaran.
—
“Apa-apaan sih? Gue nggak mau pake kaos yang sama, apalagi sepatunya. Nggak, gue nggak mau!”
“Kali ini aja! Please…!” rengek Safa ketika mereka berada di salah satu pusat perbelanjaan.
“Lo pikir kita masih lima tahun? Semua harus sama,”
“Tapi…”
“Kalo lo tetep maksa, gue tinggalin lo disini,” gertak Rafa.
Karena tidak mendapat jawaban apapun dari Safa, Rafa pun keluar dari toko itu.
“Tapi sekarang belum ada dua belas jam,” teriak Safa saat melihat Rafa
keluar dari toko. Hatinya perih, matanya juga tampak berkaca-kaca saat
itu. Ia hampir menangis di toko itu. Tapi tiba-tiba Rafa kembali. Dan
seperti mimpi, Rafa bersedia memakai sepatu dan kaos yang sama dengan
Safa.
—
Pagi ini Rafa mengikuti remidi. Dengan kesal ia mengerjakan soal-soal
sejarah yang banyaknya minta ampun. Seandainya Safa datang ke
sekolahnya seperti seminggu yang lalu, pasti ia bisa pergi dari ruang
kelas yang sudah seperti neraka ini.
“Rafa kamu dipanggil kepala sekolah,” kata Bu Indah seperti minggu lalu.
Berbeda dengan seminggu yang lalu, Rafa berjalan dengan penuh semangat
sambil berharap saudara kembarnya yang datang. Tapi yang dilihatnya di
ruang kepala sekolah bukan Safa, melainkan papanya sendiri. Mata orang
tuanya yang biasanya tampak tegar kini tidak bisa menyembunyikan
kerapuhan yang sedang melanda hatinya.
—
Air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Lantunan surat Yasin yang
dibaca puluhan orang di ruangan itu tidak mampu memberi kekuatan hati
untuk mengikhlaskan saudara kembarnya. Beberapa orang menepuk-nepuk
punggungnya pertanda bela sungkawa. Sementara itu papanya masih berada
di kamar untuk menjaga mantan istrinya yang tadi sempat pingsan.
“Kenapa Safa harus pergi secepat ini Ya Allah?” bisik Rafa dalam hati.
Dilahirkan bersama, dibesarkan bersama, bahkan waktu bayi mereka sulit
dibedakan. Dan kini harus terpisah untuk kedua kalinya. Hati Rafa
hancur. Meskipun ia sering menjahili Safa tapi di dalam hati tetap ada
rasa sayang yang begitu besar pada saudara kembarnya itu.
Dua belas jam terakhir kebersamaannya dengan Safa tinggal kenangan. Ada rasa tidak percaya. Kecelakaan naas antara taksi yang ditumpangi Safa dan truk itu sudah merenggut nyawa saudaranya. Di lubuk hatinya yang terdalam ia bersyukur sempat membuat saudaranya bisa tersenyum meskipun hanya sebentar di saat terakhir mereka bertemu. Tanah merah itu kini telah basah. Gerimis menyertai kepergian Safa. Rafa memandang nisan saudaranya, rasanya sakit melihat nama Safa di sana.
Cerpen Karangan: Septiwy
Facebook: Septi Wahyuningtyas